APA PERNIKAHAN ATAU PERKAWINAN DAN PERCERAIAN YANG
DIMAKSUD DALAM MATIUS 5:31-32 ??
1.
Menurut
Pemahaman Alkitab Setiap Hari oleh William Barclay, halaman 262-265, hubungan
pernikahan di tengah-tengah masyarakat Romawi mempunyai sejarahnya sendiri.
Situasi pernikahan tersebut mengalami perkembangan namum perkembangan tersebut
merupakan perkembangan tragedi. Dasar dari kesejahteraan masyarakat Romawi
adalah PATRIA POTESTAS atau KUASA BAPAK. Bagi orang Romawi rumah adalah
segala-galanya. Seorang ibu rumah tangga Romawi tidak terkucilkan seperti ibu
rumah tangga Yunani. Modestinus, seorang ahli Hukum Romawi, mengatakan:
“pernikahan adalah persekutuan seumur hidup dari hak ilahi dan insani.” Norma
moral Romawi memang begitu tinggi, sehingga selama lima abad pertama dalam
zaman kekaisaran Romawi tidak ada satu perceraianpun yang terjadi. Laki-laki
pertama Romawi yang pertama menceraikan istrerinya adalah Spurius Carvilius
Ruga pada tahun 234 SM.Hal ini terjadi karena isterinya mandul sedangkan dia
sendiri menginginkan keturunan. Setelah itu datanglah orang-orang Yunani masuk
ke masyarakat Romawi. Secara militer maupun politik sebenarnya Romawi
menaklukkan Yunani, tetapi sebaliknya, secara moral dan sosial orang-orang
Yunanilah yang menaklukkan Romawi. Menjelang abad ke-2 SM moralitas Yunani
telah masuk dan mempengaruhi kota Roma. Akhirnya perceraian merupakan kejadian
yang sama seringnya dengan pernikahan. Seneca
bahkan pernah berbicara tentang wanita-wanita yang dinikahi untuk
diceraikan, dan diceraikan untuk dinikahi. Jadi pernikahan telah dianggap
sebagai suatu keperluan yang tidak menguntungkan. Keadaan masyarakat seperti
itu ternyata berkelanjutan. Mereka yang tidak menikah dibebani pajak yang
berat, dan haknya sebagai pewaris dicabut. Mereka yang mempunyai anak diberi
hak istimewa, sebab anak-anak dianggap sebagai malapetaka. Hukum yang berlaku
dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyingkirkan lembaga pernikahan yang ada.
2.
Menurut
Tafsiran Alkitab Injil Matius I oleh Drs. J.J.de Heer, Hal.85-87, menuliskan.
Tuhan Yesus menyebut pula sebagian dari Hukum Taurat: “Siapa menceraikan
isterinya harus memberi surat cerai kepada isterinya” (Ul. 24:1-4). Tujuan
surat cerai dalam PL tentulah supaya merupakan perlindungan untuk wanita dalam
menikah. Membuat suatu surat pada masa dulu merupakan pekerjaan yang memakan
banyak waktu. Jadi jika suami harus membuat surat cerai, maka tidak mungkin
perceraian itu diadakan dalam keadaan emosi dan beberapa detik saja. Apalagi
surat cerai itu memberi “status yang jelas” kepada wanita itu.tambahan pula
dalam Ulangan 24:1 bahwa surat cerai hanya boleh dibuat kalau suami mendapati
“apa-apa yang tidak senonoh pada isterinya”. Pada masa Tuhan Yesus, Rabi
Syahmai dan murid-muridnya menafsirkan “apa-apa yang tidak senonoh” sebagai
perzinahan, dan hanya mengijinkan seorang laki-laki menceraikan isterinya
apabila ia mendapati isterinya sedang berzinah. Tuhan Yesus mendukung tafsiran
Rabi Syahmai tentang Ulangan 24 dan menegaskan bahwa bersalahlah setiap orang
yang menceraikan isterinya, kecuali karena zinah. Dengan cara itu Tuhan Yesus
melindungi wanita dalam nikah. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa seorang
isteri yang berzinah harus diceraikan; selalu baik kalau seorang suami yang
isterinya jatuh ke dalam dossa memeriksa diri apakah mungkin ia trurut
bersalah, sebab telah kurang memelihara hubungan yang baik dengan isterinya.
Dasar kata-kata Yesus dalam ayat 31-32 ialah kasih Yesus terhadap wanita yang
sudah nikah; Tuhan Yesus ingin melindungi mereka, dan mau supaya kita ikut
melindungi mereka.
Menurut Theodore H.Epp
dalam bukunya: Pernikahan Perceraian dan Pernikahan Kembali, hal. 63-65. Matius
menuliskan Injilnya itu pertama-tama untuk bangsa Yahudi, dan ia mencatat
pernyataan-pernyataan Yesus memberikan suatu tafsiran yang benar atas Hukum
Musa tentang perceraian. Perlu diketahui bahwa Yesus lahir pada zaman peralihan
yaitu zaman Taurat ke zaman Anugerah. Meskipun ada bukti-bukti bahwa anugerah
Allah telah terlihat sejak Zaman Perjanjian Lama, ada suatu pengertian yang
jelas bahwa sekarang ini adalah abad atau zaman anugerah. Sebab Matius menulis
Injilnya pertama-tama ditujukan kepada orang Yahudi, maka perlu baginya untuk
menjelaskan arti yang benar dari Hukum Musa tentang berbagai pokok persoalan,
khususnya tentang perceraian dan pernikahan kembali. Dalam zaman Yesus banyak
orang Yahudi khususnya orang Farisi yang membuat Taurat menjadi tidak berarti
lagi. Mereka seolah-olah membungkus Firman Allah dengan tradisi dan tafsiran
mereka sendiri. Tetapi Yesus memecahkan lapisan dari tafsiran yang salah dan
tradisi-tradisi palsu yang mengelilingi banyak persoalan. Oleh karena itu
timbul reaksi yang keras dari orang-orang Yahudi.demikian perkataan-perkataan
Kristus tentang perceraian danpernikahan kembali, itu dimaksudkan untuk
membersihkan ajaran palsu yang dikaitkan oleh orang-orang Yahudi disekitar Hukum
Taurat PL. Dibawah Hukum Musa, perceraian hanya diijinkan oleh karena yang
bersangkutan terlibat dalam dosa percabulan. Bahkan kemudian izin perceraian
tersebut diberikan hanya oleh karena kekerasan hati orang-orang Israel.
Perzinahan, atau dosa seks yang dilakukan sesudah menikah, mengakibatkan orang
yang terlibat di dalamnya di Hukum
dengan Hukuman mati di bawah Hukum Musa. Maka perceraian atas dasar
perzinahan tidak pernah menjadi suatu pertimbangan. Banyak orang pada masa kini
yang berfikir bahwa mereka ingin mengikuti Hukum Musa yang memperbolehkan
perceraian. Tetapi mereka sering dibingungkan oleh perzinahan dan percabulan,
sehingga mereka tidak mengerti sepenuhnya apa yang Hukum Taurat katakan tentang
diri mereka masing-masing. Mereka berkata bahwa mereka menyokong perceraiaan
karena perzinahan tetapi mereka menghindarkan fakta tentang Hukuman mati
sebagai Hukuman atas perzinahan, bukan Hukuman atas perceraian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar