BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
Perjanjian Lama yang juga menarik adalah peran dari nabi-nabi yang di utus
langsung oleh Allah. Allah secara langsung berbicara dengan nabinya. Nabi-nabi
sering diperankan sebagai pengajar sehingga seringkali para nabi tersebut
dipanggil dengan sebutan Rabi (guru). Selain sebagai pengajar, nabi-nabi dalam
perjanjian lama sering ditugaskan Allah untuk menegur raja-raja yang bersalah
dan penasehat kepada suatu bangsa. Akan tetapi selain menjadi Rabi dan penegur
para Raja, para nabi juga ditugaskan Allah sebagai juru bicara Tuhan.
Melihat bagaimana Allah memanggil
dan mengutus para nabi dalam Perjanjian Lama akan memberikan dasar bahwa
panggilan dan pengutusan Allah itu sangat mulia. Mereka berbicara atas nama
Allah. Allah yang memulai berinisiatif untuk memanggil dan mengutus orang-orang
yang dipilih secara khusus menjadi perantara antara diri-Nya dengan manusia. Tugas
kenabian sering membawa mereka pada situasi yang sulit, sehingga nabi juga
mengeluh Karena tanggung jawab besar yang dituntut dari pewartaan sabda
tersebut. Kendatipun demikian, seorang nabi tidak meragukan tugas perutusannya
untuk menyampaikan sabda Tuhan tersebut.[1]
Israel bukanlah satu-satunya umat beragama yang pernah menyaksikan bangkitnya
nabi-nabi. Hampir semua bangsa dan aliran agama mengenal apa yang lazimnya
disebut prophetism.[2]
Dengan penulisan ini maka penulis
secara khusus akan membahas tentang penyataan Allah, panggilan dan pengutusan
para nabi dalam kehidupan bangsa Israel. Dengan mempelajari tentang kenabian
dalam Perjanjian Lama, diharapkan setiap orang percaya dapat mengerti dan
memahami pentingnya panggilan dan pengutusan sebagai hamba-hamba Tuhan.
Sehingga pemahaman ini bisa berdampak kepada kehidupan pribadi maupun kehidupan
pelayanan hamba-hamba Tuhan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Allah menyatakan diri-Nya kepada para Nabi dalam Perjanjian Lama?
2.
Bagaimana Allah memanggil para Nabi-Nya
dalam Perjanjian Lama?
3.
Bagaimana Allah mengutus para Nabi-Nya
sebagai penyambung lidah Allah?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
tentang bagaimana Allah menyatakan diri-Nya kepada para Nabi dalam Perjanjian
Lama.
2.
Menjelaskan tentang bagaimana Allah
memanggil para Nabi-Nya dalam Perjanjian Lama.
3.
Menjelaskan tentang bagaimana Allah
mengutus para Nabi-Nya sebagai penyambung lidah Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyataan
Allah
Allah
dan manusia terpisah karena dosa (Yes. 59:1-2). Karena dosa maka manusia tidak
bisa datang kepada Allah dan Allah tidak ingin dating kepada manusia. Tetapi
Karena kasih Allah kepada manusia, maka Allah tidak ingin manusia binasa (2
Petrus 3:9). Untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia maka Allah memilih
orang-orang tertentu untuk menerima wahyu dari Allah kemudian menyampaikan
kepada umat-Nya. Tanpa wahyu Allah, manusia tidak akan pernah memperoleh
pengetahuan tentang Allah. Dan kendatipun Allah telah menyatakan diri-Nya
secara obyektif, bukanlah pemikiran manusia yang menemukan Allah, akan tetapi
justru Tuhanlah yang menunjukkan diri-Nya pada matai man manusia.[3] Allah
mengkomunikasikan pengenalan tentang diri-Nya sendiri kepada manusia.
Penyataan
Allah melalui wahyu-Nya dibedakan menjadi wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu
umum adalah wahyu yang dapat ditemukan di alam sekitar kita, dalam kesadaran
manusia, dan dalam pengaturan providensi
alam semesta.[4]
Sedangkan wahyu khusus adalah wahyu yang berakar pada rencana keselamatan Allah
atas manusia, ditujukan kepada manusia sebagai orang berdosa dan dapat dipahami
dengan tepat melalui iman, dan mencapai tujuannya yang pasti.[5] Melalui
wahyu khusus inilah Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel. Allah
menyatakan diri kepada nabi-nabinya. Penyataan Allah merupakan bukti bahwa
Allah mengasihi manusia.
Bangkitnya
seorang nabi selalu dimulai dengan peristiwa yang menakjubkan. “Allah sendiri
menyatakan diri-Nya kepadaku” adalah jawaban yang sudah biasa disampaikan oleh
seorang nabi, apabila kewibawaannya disangsikan orang.[6]
Unsur kedatangan dan kehadiran Allah selalu mendadak. Allah sendiri memilih
saat, tempat dan caranya bagaimana Ia berkenan dating. Ia sendiri yang
menetapkan siapa yang hendak dijadikannya nabi. Bukan dari pihak manusia tapi
Tuhanlah yang berdaulat dalam menentukan hamba-Nya.[7]
Allah
turun dan datang dengan tiba-tiba, serta tak disangka-sangka. Allah menyatakan
diri kepada seseorang adalah untuk memperlihatkan sesuatu kepada orang
tersebut. Awal kenabian adalah ketika menerima wahyu berupa penglihatan.
Melalui penglihatan itu Allah memperdengarkan Firman-Nya dengan berisikan
berita yang tegas. Tidak ada penglihatan, tidak ada nabi. Pengalam para nabi
mulai denan suatu penglihatan, malah seluruh pengalaman itu terdiri atas suatu
penglihatan. Hal-hal yang diperlihatkan itu belum dapat dikatakan mengandung
suatu wahyu, tetapi apa yang dinyatakan Allah dengan perkataan-perkataan,
itulah inti dan jiwa dari suatu penglihatan.[8]
Allah menyatakan diri-Nya serta memperdengarkan firman-Nya kepada seseorang
adalah untuk memprakasai salah satu tindakan yang hendak diambil-Nya.
B.
Panggilan
Allah
Sebelum
penulis membahas lebih jauh mengenai para nabi, kelompok ingin menjabarkan
terlebih dahulu mengenai awal dari pemanggilan kenabian. [9]
Dalam pengajarannya para nabi seakan akan terlihat dapat melihat masa depan,
akan tetapi kadang-kadang nubuat tentang masa depan didasarkan atas pengamatan
masa kini. Para nabi bekerja diilhami oleh Roh Allah, atau di berdayakan oleh
“tangan Allah” dan melalui semua itu para nabi menjadi ekstatis sehingga dalam
keadaan sadar dan tak sadar para nabi sering mendapat penglihatan-penglihatan
dan menjadi pelihat dan sebagian dari mereka melakukan mujizat-mujizat, mereka
menyampaikan firman Allah dengan perumpamaan-perumpamaan atau
perbuatan-perbuatan simbolis.
Akan
tetapi banyak nabi yang dipanggil bukan hanya untuk mengucapkan firman saja
melainkan mewujutnyatakan firman itu dalam kehidupan pribadinya, dan biasanya
tindakan tersebut seringkali disebut dengan istilah simbolisme, profetis atau
“tindakan simbolis” sehingga dapat dikatakan tindakan para nabi tersebut
merupakan sebuah dabar, sebuah kejadian, sebuah perkataan yang bergerak. Menurut Perjanjian Lama pekerjaan
ataupun aktivitas yang dilakukan terhadap sesuatu merupakan kekuatan panggilan
terhadap suatu tugas ataupun hak istimewa. Dalam panggilan Abraham (Kej 12:1),
Musa (Kel 3:10) ataupun Yesaya (Yes 6:9) tidak membedakan bahwa suatu panggilan dari Tuhan sendiri.[10]
Dalam Perjanjian Lama kata panggilan memiliki makna teologis yaitu:
1. Mengandung didalamnya panggilan
untuk melayani Allah dalam suatu fungsi dan suatu tujuan khusus (1 Sam 3:44,
Yes 49:1)
2. Menguraikan dan menunjuk kepada
suatu hubungan antara Allah yang menamai dan apa yang menamai (Yes 43:1)
Pemanggilan dan pengutusan para nabi
merupakan suatu tindakan Allah demi kepentingan umat-Nya. Hal ini seringkali
dikatakan dimulai dengan suatu peristiwa yang bersifat rahasia dimana Allah
berkenan mengerahkan seseorang menjadi peserta didalam pelaksanaan karya-Nya. Para
nabi tidak bertugas sebagi alat yang pasif, namun sebaliknya mereka digerakkan
secara aktif, bahkan lebih giat dari pada manusia biasa.[11]
Peranan panggilan para nabi juga sebagai pejuang yang memanggil umat Israel
kembali pada prinsip-prinsip yang menjadi landasan mereka. Dalam tugas mereka
menguraikan makna perjanjian dan makna iman etis serta menerapkan pada situasi
zaman mereka. Dengan demikian sumbangan mereka kepada perkembangan iman Israel
merupakan sumbangan yang penting sekali.[12]
Fungsi para nabi terhadap panggilannya
dapat dilihat dari satu periode ke periode yang lain, antara lain:[13]
1. Pra Monarkhi : Nabi berfungsi sebagi
juru bicara, pemimpin yang memberi pesan kepda rakyat. Pesan itu berisi bimbingan nasional, pemelihara
keadilan dan pengawasan rohani.
2. Pre Klasik : Nabi berfungsi sebagi juru bicara dan
penasehat kepada raja dan para pegawai istana.
3. Klasik : Nabi berfungsi sebagai juru bicara,
komentator dalam bidang sosial, rohani kepada rakyat. Pesan yang disampaikan
bersifat teguran mengenai keadaan yang berlangsung di masyarakat.
Keberadaan nabi adalah seorang manusia
yang tidak berbeda dengan sesamanya. Namun nabi memiliki hal khusus yang
membedakan mereka dengan masyarakat biasa. Nabi merupakan abdi Allah yang
dipanggil untuk menyampaikan pesan Allah kepada manusia. Dalam Alkitab
Perjanjian Lama orang pertama yang disebut nabi yakni Abraham (Kej.
20:7; bnd. Maz. 105:15). Ia menerima panggilan khusus dan bersifat pribadi dari Allah. Namun
nubuat Perjanjian Lama menerima bentuk normatifnya dalam hidup dan pribadi Musa
yang merupakan tolok ukur bagi nabi-nabi selanjutnya (bnd. Ul 18:15-19, 34:10).
Perikesadaran kenabian akan makna sejarah Israel bermuara dari panggilan Allah
kepada Musa. Dengan demikian Musa merupakan typos terbesar bagi seluruh
kenabian.
Awal pemanggilan Musa oleh Allah dapat
diketahui secara khusus dalam kitab Keluaran 3. Sifat-sifat apapun yang kemudian
dihubungkan dengan nubuat dan inisiatif dalam menjadikan Musa sebagai seorang
nabi terletak pada tangan Tuhan. Dalam Keluaran 33:11 memaparkan dengan jelas
terbentuknya suatu hubungan yang unik antara Musa dengan Allah. Musa yang telah dibawa dihadapan
Allah mampu berbicara atas nama Allah ditengah-tengah kekuasaan Mesir. Setelah pemanggilan itu maka Musa harus pergi
berdiri dihadapan bangsanya. Disini tampak fungsi nabi sebagai perantara. Peranan ini
digambarkan dengan baik dalam Ulangan 5:24-28.
Tujuan pemanggilan Musa oleh Allah
adalah sebagai perantaraNya dalam menyampaikan pesan kepada bangsa Israel. Musa diberi kecakapan untuk menafsirkan
bebagai kejadian besar yang segera akan terjadi. Musa tidak dibiarkan Allah
untuk bergumul menemukan arti dari berbagai kejadian yang sedang berlangsung
ataupun sudah terjadi ditengah-tengah perjalanan bangsa Israel menuju tanah
perjanjian. Allah berbicara kepada dia dan memberi tahu keadaan yang akan
terjadi kepada Musa secara langsung. Namun bukan hal itu saja, Musa juga diberi
sutu tanda dari Allah bahwa ia memiliki kekuatan dan kekuasaan dari Allah (bnd.
Kel 4:3,6).
Selain itu juga, hal yang diperoleh
dari kenabian Musa sendiri yaitu mengenai etika dan kepedulian sosial Musa
sendiri. Bahkan sebelum
Musa dipanggil Allah menjadi seorang nabi, ia telah memperhatikan keadaan
sosial umatnya (Kel 2:11,17). Dalam panggilannya Musa juga menjadi seorang nabi
pemberi hukum yang membentangkan dan memberikan undang-undang yang paling
berprikemanusiaan dan filantropis dalam dunia kuno dengan memperhatikan kaum
lemah (Ul 24:19-22) dan membasmi penindasan (Im 19:9).[14]
Dalam kenabian Musa juga ditemukan
kombinasi pemberitaan dan nubuat yang terdapat pada semua nabi. Ini sangat
mencolok terperinci sebagai corak kenabian pada umumnya. Musa juga menetapkan
suatu norma yang mana bila seorang nabi membicarakan kejadian masa kini juga
harus membicarakan kejadian yang akan datang. Dan bahkan juga Musa mengucapkan
nubuat akbarnya tentang nabi yang akan datang (UL 18:15). Dua ciri yang
ditemukan dalam kenabian Musa yang juga terdapat pada generasi nabi setelah
Musa yaitu memakai lambang dalam mengemukakan amanat mereka seperti halnya Musa
mengangkat tangannya ke atas (Kel 17:8) dan juga patung ular tedung (Bil 2:8).
Hal kedua yang juga ditemukan dalam kenabian Musa yakni dari segi syafaat ia
adalah wakil bangsa dihadapan Allah pada suatu peristiwa yang secara harafiah
dimana Musa sebagai pendoa yang tegar menangkis semua serangan (Kel 32:30)
C.
Pengutusan
Allah
Penyataan,
panggilan dan pengutusan Allah tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah mengutus
hamba-hamba-Nya para nabi. Dan tindakan Allah terhadap para nabi dan menjadikan
mereka sebagai perantara terhadap Israel maupun bangsa-bangsa di dunia. Berawal
dari Allah “menyatakan diri-Nya” atau “berfirman” kepada para nabi, serta
“memanggil” mereka dengan “menaruh roh-Nya” ke atas mereka, dengan perantaraan
hamba-hamba-Nya itu Allah “berfirman” kepada umat-Nya; sesekali Ia
“memperingatkan”, “menegur”, atau mengancam” disisi lain juga “menghibur”.[15]
Pengutusan
para nabi merupakan perbuatan besar Allah. Allah sangat tahu “ketidakmampuan”
para nabi. Allah tidak hanya asal memanggil kemudian mengutus mereka saja,
tetapi Allah juga memperlengkapi utusan-Nya dengan kekuatan, kuasa dan urapan.[16]
Itu berarti bahwa kekurangan mereka dicukupi; yang masih muda menjadi dewasa,
yang berat lidah menjadi fasih bicara, sehingga meyakinkan orang, yang lemah
diberi wibawa dan daya tahan. Semua itu dimungkinkan oleh Allah melalui suatu
pemberian anugerah yang luar biasa. Selain memperlengkapi utusan-Nya, Allah
juga berjanji bahwa Ia akan menyertai mereka, artinya Allah akan menolong,
membantu, membuat berhasil, memberkati, bila perlu menyelamatkan hamba-Nya.
Kadang Allah juga berkenan memberikan utusan-Nya seorang kawan sebagai
pembantunya.[17]
BAB III
PENUTUP
Panggilan merupakan suatu pekerjaan
yang khusus yang diterima seseorang atas prakarsa Allah. Hal ini merupakan suatu tindakan
Allah selaku penentu kehidupan manusia melalui pemilihan nabi dan rasul. Esensi panggilan Allah tersebut
merupakan suatu bentuk yang nyata dari Allah sendiri untuk memperbaiki hubungan
dengan manusia. Oleh karena itu pemilihan nabi dan rasul merupakan suatu
babakan baru dalam melanjutkan misi Allah sendiri yaitu karya penyelamatan
Allah atas dunia ini.Dalam masa sekarang panggilan terus berlanjut melalui
gereja. Gereja merupakan suatu bentuk persekutuan orang-orang yang dipanggil
keluar dengan tujuan tertentu yaitu mendapatkan keselamatan dari Allah.
Panggilan terhadap gereja ditujukan
secara langsung kepada tugas gereja di dunia ini yakni sebagai saksi Yesus
didunia akan karya keselamatanNya. Alkitab sangat jelas memaparkan tugas dari
gereja sendiri (bnd. Kis 1:8) dan inilah yang mengkonkritkan tugas gereja di
dunia ini. Sebagai seorang hamba Tuhan, sudah seharusnya menghargai
panggilan Tuhan. Khususnya adalah gereja Tuhan, di panggil untuk menjadi terang
ditengah-tengah dunia yang gelap dan diutus untuk menjadi saksi Tuhan dan
menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan. Menjadi orang-orang yang dipanggil dan
diutus Allah harus sungguh-sungguh hidup dalam panggilan tersebut. Dan
melakukan yang terbaik untuk Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006.
Bart, Chr., Teologi Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1989.
Berkhof, Louis,
Teologi Sistematika 1, Surabaya:
Momentum, 2003.
Ensiklopedia Masa Kini Jilid II,
Yayasan Bina Kasih/OFM.
Kittel, Gerhard, Theologycal
Dictionary of New Testament, W.H.B
Eermans Publishing
Company.
P.R., Darmawijaya., Tindak Kenabian, Yogyakarta: Kanisius,
1991.
Rowley, H.H., Ibadat
Israel Kuno, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1981.
Walton, Jhon, Ancient
Israelite Literature, In This Cultural Context.
[1] Darmawijaya P.R., Tindak Kenabian (Yogyakarta: Kanisius,
1991), 5.
[2] Chr. Bart, Teologi Perjanjian Lama 4 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1989), 1.
[3] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1 (Surabaya:
Momentum, 2003), 38.
[4] Ibid. 42.
[5] Ibid 45
[6] Chr. Bart, Op. Cit., 18.
[7] Band. Kej. 31:24; Bil
22:20 dsb.
[9] Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru kata “Panggilan” Muncul dalam pemberitaan
sekitar 700 kali sebagai kata kerja, kata benda maupun sebagai kata sifat.
Dalam Perjanjian Lama untuk menyebutkan istilah panggilan yaitu קראֶ Yang artinya memanggil. Dalam Perjanjian Baru istilah yang dipergunakan untuk
menyebut panggilan yaitu κάλέώ yang artinya “memanggil” dengan kata gabungan dan kata jadiannya κλέτος “dipanggil”
dan κλέσίς merupakan kata verbal yang keluar dari Allah sendiri (bnd. Roma 11:29)[9]
Kata κλέσίς yang dimaksudkan adalah πάράθέω (dekat kepada Allah). Dengan demikian
panggilan itu adalah bersaksi tentang Tuhan (2 Tim 1:9).
[10] Gerhard Kittel, Theologycal
Dictionary of New Testament (W.H.B
Eermans Publishing Company),
478.
[13] Jhon Walton, Ancient
Israelite Literature, In This Cultural Context, hlm. 207-208
[17] Lihat. Kel. 4:10-16;
18:24b-30; Yes 8:16; bnd. Mrk. 6:7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar