BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah,
ya Tuhan; siapakah seperti Engkau mulia didalam kesucian dan menakutkan di
dalam puji-pujian serta yang mengadakan keajaiban?”[1]
jelas melalui ayat tersebut keuliaan Allah itu dinyatakan dalam kesucian! Ayat
tersebut terjadi ketika orang Israel disucikan /dipisahkan dari orang Mesir
dengan melalui laut Merah dan kemudian mereka Nampak kemuliaan Allah dalam
kuasa-Nya, yang menyebabkan musuh mereka mati tenggelam sedangkan mereka
sendiri dapat menyeberangi laut tersebut. Jika kita melihat kesucian Allah
dalam hubungan-Nya dengan manusia. Maka kita baru bisa mengerti mengapa manusia
harus kudus, atau dengan melihat dan mengerti apa makna kesucian itu dalam diri
manusia. Semua tergantung bagaimana kita memandang Allah, kesucian menurut
Allah belum tentu sama dengan kesucian menurut manusia. Itu memiliki sudut
pandang yang berbeda.
Kesucian Allah tidak bisa dijangkau dengan pikiran
atau bahkan panca indera manusia. Tetapi manusia bisa mengukur kesucian Allah
melalui Firman yang disampaikan kepada orang-orang pilihannya hingga akhirnya
menjadi Kitab Suci atau Alkitab. Melalui Alkitab manusia dapat menggambarkan kesucian
Allah. Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda-beda tentang kesucian Allah.
Jika kita menggambarkan Allah sebagai seorang raja yang lalim dan kejam,
seorang polisi bermata elang, seorang kakek yang sangat sabar, atau mungkin
seorang hantu yang sangat aneh yang sedang memainkan permainan, maka perasaan
kita akan ditentukan oleh hal itu.[2]
Tetapi sebaliknya apabila kita memandang Allah sebagaimana adanya seperti yang
dinyatakan dalam Alkitab dan dicerminkan melalui Yesus Kristus maka kita akan
dipenuhi dengan kasih, kekaguman, penghormatan dan pemujaan yang mutlak.
Kebenarannya adalah kita harus memiliki rasa hormat
yang penuh dan hidup kudus[3]
sebelum kita menjalin hubungan yang dekat dan akrab dengan Allah. Allah akan
menghancurkan apa yang tidak dapat dikuduskan dan Allah menguduskan apa yang
tidak dihanguskan.[4] Kita
perlu mengenal siapa Allah dan bagaimana Alah yang kudus, Allah yang mulia,
Allah yang kekal dan Allah yang layak disembah. Mengenal Allah dan kesucian-Nya
melalui cermin Kristus dan kehidupan Kristus. Kemuliaan Allah yang nampak
melalui kesuciannya bagi orang berdosa justru menghukumkan, tetapi bagi orang
yang percaya bukan saja melepaskan
tetapi juga menuntun ke tempat kediaman yang kudus.
Permasalahan
yang terjadi adalah masalah karena kurangnya pengetahuan setiap orang percaya tentang kesucian Allah dan berbagai
pandangan dan penilaian tentang kesucian Allah. Didunia ini ada berbagai sumber yang menjadi titik tolak dalam mempelajari
tentang Allah. Tetapi dalam makalah ini penulis memfokuskan pembahasan kepada
Allah sebagai dasar titik tolak berteologi. Oleh sebab itu untuk menghindari adanya
kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi
masalah-masalah yang akan dibahas oleh makalah ini dengan bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana memandang kesucian Allah melalui Yesus
Kristus?
2. Mengapa kesucian Allah menjadi ukuran bagi setiap
orang percaya untuk hidup kudus?
C.
TUJUAN PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis memiliki beberapa
tujuan, yaitu:
1. Menjelaskan bagaimana memandang kesucian Allah melalui
Yesus Kristus.
2. Menjelaskan mengapa kesucian Allah menjadi ukuran bagi
setiap orang percaya untuk hidup kudus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Memandang Kesucian Allah melalui Yesus Kristus
Kesucian, berasal dari kata dasar suci yang berarti
bersih, bebas
dari dosa; bebas dari cela; bebas dari
noda.[5] Dari sudut pandang Allah, kesucian Allah berarti
ketidak berdosaan Allah atau kebebasan Allah dari dosa, kebebasan Allah dari
cela, dan bebas dari noda. Allah adalah mutlak suci dan kudus. Seperti yang
tertulis dalam Perjanjian Lama, “Allah adalah mulia karena kekudusan,
menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyur, Engkau pembuat keajaiban.”[6]
Satu pernyataan tentang kesucian atau kekudusan Allah secara nyata dan jelas
untuk pertama kalinya dalam Alkitab. Tidak ada yang kudus seperti Tuhan.[7]
Hanya Allah sendiri yang suci dalam diri-Nya. Segala
bentuk kesucian lainnya diturunkan melalui hubungan dengan-Nya.[8]
Kesucian merupakan atribut[9]
utama Allah. Kesucian merupakan prinsip moral baik untuk kasih maupun
anugerah-Nya. Konsepsi Perjanjian Lama tentang kesucian Allah sebagai pancaran
cahaya, pemisahan dan kemurnian. Di situ perlu ditekankan lagi tentang sifat
etis daripada kesucian Allah. Pancaran cahaya, pemisahan dan kemurnian yang
amoral bisa saja terjadi. Tetapi jauh melampaui cahaya kemuliaan, keterpisahan
dan kemurniaan-Nya dibandingkan semua makhluk lainnya yang ada di dunia ini.
Allah secara utama memancarkan kebaikan-Nya dan anugerah-Nya yang jauh dari
segala yang jahat dan murni dalam kebenaran-Nya yang absolut.[10]
Kesucian Allah tidak dapat diganggu gugat. Bukti akan kesucian Allah adalah
tindakan yang dilakukan kepada manusia yang berdosa. Kehendak Allah selalu
merupakan ekspresi dari totalitas sifatnya, yang melibatkan hikmat, kebenaran,
keadailan, dan kasih. Allah tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan diri-Nya sendiri. Allah melakukan semua apa yang benar dan bahkan Allah
memerintahkan untuk dilakukan adalah suatu kebenaran.
Ungkapan “kudus, kudus, kudus”[11]
menunjukkan analisa yang berlipat tiga kali tentang kekudusan atau kesucian
Allah. Ada kekudusan kemuliaan-Nya yang Agung, ada kekudusan dalam
kemurnian-Nya yang tanpa noda, dan ada kekudusan dalam pancaran cahaya-Nya yang
tak terbatas. Masing-masing memiliki arti untuk seluruh lingkup istilah
tersebut, baik diterapkan kepada Allah maupun dilanjutkan ke manusia.
Kesucian Allah yang mutlak tidak dapat secara langsung
dilihat dengan mata jasmani manusia karena Allah bersifat Roh. Kesucian Allah
membahas tentang jalinan peristiwa dalam kehidupan pribadi seseorang. Tetapi
manusia dapat melihat kecusian Allah melalui Pribadi Yesus Kristus. Yesus
adalah Allah yang telah menjadi manusia.
Yesus Kristus adalah gambar Allah yang sempurna. Dari
kehidupan Yesus selama Dia tinggal di dunia hidup seperti manusia. Melalui pengajaran
Yesus dan teladan-Nya manusia dapat mengetahui bagaimana kesucian itu
sebenarnya. Teladan itu sendiri hanya seperti lampu sorot pada orang yang
tenggelam. Pada waktu manusia memandang Yesus, manusia melihat contoh dari
kesucian yang sebenarnya seperti yang Ia ajarkan kepada manusia. Kesucian yang
di lihat dalam manusia merupakan kebenaran yang sempurna. Yesus menantang.
“Siapakah diantaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?.[12]
Ini bukan hanya keadaan tak bersalah secara lahiriah, melainkan juga kebenaran
batiniah yang sempurna; kesucian hati yang sesungguhnya, yang diperlukan agar
seseorang bisa “melihat Allah”.[13]
Ada hubungan yang sangat erat antara cara hidup Yesus dengan hokum Allah. Ia
melakukan apa yang seharusnya Ia lakukan. Apa yang Ia rasakan, katakana dan
perbuat sesuai dengan apa yang Ia tangkap sebagai hal yang benar. Bukan hanya
tindakan-Nya yang benar, motivasi-Nya pun juga benar. Ia melakukan hal yang
benar karena alasan yang benar.
Selain itu manusia melihat kesucian Yesus sebagai demonstrasi
kasih. Hanya dalam pemikiran semata-mata manusia bisa memisahkan kesucian-Nya
dari kesatuan-Nya dengan Allah atau dari kebenaran. Peragaan kesucian oleh
Yesus itu secara khusus menunjukkan jenis kesucian yang sesuai bagi manusia,
makhluk ciptaan itu. Kesucian dalam
manusia mencakup penundukan diri, kerendahhatian, ketaatan, dan penghormatan,
sebab sifat-sifat ini merupakan bagian dari status manusia sebagai makhluk
ciptaan yang takluk. Sebab itu kata-kata Yesus, “ Aku lemah lembut dan rendah
hati,” itu sungguh-sungguh sangat penting dan ketika Ia mengatakan hal itu, Ia
menunjukkan diri-Nya sendiri sebagai pola kita atau gambar kita.[14]
Sebagai anak muda, Yesus menundukkan diri-Nya sendiri kepada orang tua-Nya,
karena Ia tahu hal ini merupakan ketetapan Allah. Perbedaan antara kesucian
yang dapat dilihat dalam diri Kristus dan sifat alamiah kita sendiri sungguh
jelas. Yesus adalah satu-satunya manusia tanpa dosa.
B.
Kesucian Allah menjadi ukuran bagi setiap orang
percaya untuk hidup kudus.
Allah dan manusia memiliki dua aspek kesucian, yaitu
aspek positif san aspek negative. Kesucian Allah baik dalam aspek positif atau
negative adalah mutlak. Sedangkan kesucian manusia dilihat dari dua aspek
tersebut adalah manusia suci sebagai makhluk yag serupa dan segambar dengan
Allah[15]
dan dari aspek negatifnya adalah bahwa manusia memiliki sifat keberdosaan.
Itulah yang membedakan antara kesucian Allah dan kesucian manusia. Ketika
manusia pertama yaitu Adam belum jatuh dalam dosa, ia adalah manusia yang benar-benar
suci tetapi setelah jatuh dalam dosa atau sifat keberdosaannya itu manusia
menjadi cela atau tercemar dengan dosa hingga akhirnya Allah yang suci
memisahkan diri dari manusia. Setelah manusia menerima sisi lemah dan berdosa
dari natur manusia, gambaran tentang kekudusan masih bisa menjadi tujuan hidup
setiap orang percaya.[16]
Manusia sebagai gambar Allah terletak dalam hubungan
antara manusia dengan Allah. Allah juga menghendaki manusia sebagai makhluk
yang berada dalam komunikasi dengan Dia. Untuk menjalin komunikasi yang baik
anatara manusia dengan Allah diperlukan kesucian secara moral dalam diri
manusia sebagai syarat bagi kelangsungan persekutuan manusia dengan Allah.
Kesucian manusia harus dimulai dengan pemberesan hubungan antara manusia dengan
Allah. Kita harus hidup kudus sebab Allah yang memerintahkannya dalam Alkitab.
Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, ”Aku berkata kepadamu: jika hidup
keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga.”[17]
Dan lagi, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna.”[18]
“Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”[19]
Kita harus suci atau kudus karena Kristus dating ke dunia untuk menjadikan kita
kudus. “Kristus telah mengasihi jemaat, dan telah menyerahkan diri-Nya baginya
untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya.”[20]
Kristus mati tidak hanya untuk menyelamatkan kita dari kesalahan dosa-dosa kita,
tetapi juga dari kuasa dosa itu. Yesus adalah Juruselamat yang sempurna yang
tidak hanya menghapus rasa bersalah akibat dosa orang percaya, tetapi juga
mematahkan kuasa dosa atas orang percaya sehingga memampukan orang percaya itu
menjadi kudus.[21] Dengan
hidup kudus kita dapat membuktikan bahwa iman kita kepada Kristus adalah
sesuatu yang nyata.
Bagaimana kita memulai untuk hidup kudus? Yaitu
memulainya dengan Kristus. Setiap kali orang berusaha membuat diri mereka
sendiri kudus dan mereka malah menjadikan segala sesuatunya berantakan.
Satu-satunya perkara yang harus kita lakukan ialah berpaling kepada Kristus,
“di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”[22]
adalah kata-kata Tuhan Yesus sendiri untuk menyatakan bagaimana kita harus
melakukannya.
Dengan memandang kesucian Allah dalam kehidupan Yesus.
Maka tidak ada yang sukar bagi kita untuk hidup suci. Kerjasama antara Roh
kudus yang tinggal dalam kehidupan kita dan iman kita akan memampukan kita
untuk hidup suci, mampu mengendalikan kedagingan dan melawan tipu muslihat
iblis yang selalu berusaha menghancurkan kesucian manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesucian Allah merupakan gambar akan kemuliaan Allah
dan kemahakuasaan Allah. Kesucian yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun
yang ada di dunia ini. Hanya Allah sendiri yang suci dalam dalam diri-Nya. Kesucian
Allah merupakan bukti akan kasih Allah yang diwujudkan melalui Yesus Kristus. Yesus
yang sudah mati dan bangkit dari antara orang mati menebus semua dosa orang
percaya merupakan ungkapan kasih Allah yang kudus kepada manusia. Yesus sendiri
adalah satu-satunya teladan bagi kita sebagai orang-orang percaya untuk hidup
dalam kekudusan. “Kuduslah kamu sebab Aku kudus”[23]
hendaknya ayat tersebut menjadi cermin bagi kita untuk terus melihat kekudusan
Allah di dalam Yesus.
B. Saran
Demikian
penjelasan yang dapat dipaparkan oleh penulis, karena masih banyak kekurangan
dan kelemahan dalam penulisan makalah ini dan mungkin banyak kata atau kalimat
atau tanda baca maupun istilah asing yang tidak dapat dimengerti oleh pembaca
maupun ada yang menimbulkan kesalahpengertian antara maksud penulis dan maksud
pembaca. Maka penulis memohon maaf dan dengan senang hati menerima saran dan
kritikan dari pembaca, supaya penulis dapat memperbaiki setiap kesalahan dan
menjadi lebih baik lagi dalam penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2006.
Purkiser, W.T. Menggali
kekudusan Kristen Jilid . Yogyakarta:Andi, 1998.
Ryle, J. C. Aspek-aspek
Kekudusan. Surabaya: Momentum, 2003.
Subekti, Timotius. Kesucian.
Yogyakarta: Andi, 1986.
Taylor, Richard S. Doktrin
Kesucian. Malang: Sekolah Tinggi Alkitab Nusantara, 1985.
[9] Atribut adalah sifat yang menjadi ciri khas suatu pribadi (http://kbbi.web.id/atribut, diunduh
tanggal 24 Agustus 2015, Pukul 09.15 Wib )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar