BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian
merupakan salah satu bagian dalam bidang kehidupan social manusia. Karena
senantiasa berhubungan dengan sesamanya, maka hubungan itu perlu dipahami
baik-baik.[1]
Jika melihat dalam Kekristenan bahwa inti dari Alkitab adalah penyelamatan umat
manusia melalui penyaluran kasih karunia Allah lewat perjanjian-perjanjian yang
dibuat-Nya dengan manusia yang berawal dari Perjanjian Lama dan digenapi dengan
Perjanjian Baru. Alkitab berisi tentang perjanjian. Secara umum manusia
memahami kata perjanjian sebagai keterlibatan antara dua pihak yang mengadakan
ikatan atau kontrak kerjasama yang disertai dengan syarat-syarat atau sangsi
yang harus dipenuhi oleh pihak- pihak yang membuat perjanjian itu. Pada intinya
perjanjian yang dibuat adalah untuk kepentingan bersama dan menghasilkan
keuntungan untuk kedua belah pihak. Jika salah satu pihak merasa tidak puas
atau melanggar syarat dalam kesepakatan itu maka sangsi diberlakukan atau
perjanjian dibatalkan. Tidaklah demikian dengan perjanjian Allah.
Dalam
perjanjian antara Allah dengan manusia, Allah-lah yang memanggil untuk
mengadakan perjanjian dan inti dari perjanjian itu adalah penyaluran kasih
karunia dan keselamatan yang akan diberikan Allah berdasarkan kedaulatan-Nya.
Berbeda dengan perjanjian yang dibuat oleh manusia yang berdasarkan kesepakatan
bersama, perjanjian Allah disusun dan ditetapkan oleh Allah sendiri, bersifat
umum dan juga khusus. Seperti contoh perjanjian pelangi antara Allah dengan Nuh
maupun perjanjian antara Allah dengan Abraham yang bersifat umum dan berlaku
kekal selamanya. Adapun perjanjian Sinai antara Tuhan Allah dengan bangsa
Israel bersifat khusus dan berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Ikatan perjanjian ini merupakan peristiwa sentral dalam kehidupan Israel
sebagai bangsa. Dari perjanjian Sinai ini akan ditinjau bagaimana pengaruhnya
terhadap kehidupan bangsa Israel.
B. Rumusan Masalah
Oleh
sebab itu untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas oleh makalah ini
dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa
yang menjadi dasar adanya perjanjian Sinai?
2. Apa
pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Sosial – Politik bangsa Israel?
3. Apa
pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Keagamaan bangsa Israel?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan
dasar adanya Perjanjian Sinai.
2. Menjelaskan
pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Sosial-Politik bangsa Israel.
3. Menjelaskan
pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Keagamaan bangsa Israel.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar adanya Perjanjian Sinai
Dalam Perjanjian Lama Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb.[2] Ditempat
ini Allah mengadakan perjanjiannya dengan umat Israel melalui Musa. Sesudah melewati
Mara dan Elim orang Israel sampai di Sinai pada bulan ke-3 sesudah berangkat
dari Mesir (Keluaran 19:1), dan berkemah di dataran kaki gunung itu, dan dari
situ puncak gunung dapat dilihat (Keluaran 19:16, 18, 20). Yahwe menampakkan
diriNya kepada Musa di puncak gunung ini dan memberikan Kesepuluh Firman[3] dan
hukum-hukum lainnya.[4]
Deskripsi perjanjian Sinai dalam
kitab Keluaran ditemukan dalam Kel 19-24. Allah tidak hanya mengingat
janji-janji-Nya kepada bapa leluhur Ibrani, tetapi sekarang sudah menyatakan
diri-Nya juga kepada Israel sebagai Yahweh. Perjanjian Sinai berbeda dengan
Perjanjian Abraham, sebab Perjanjian Sinai tidak disebut perjanjian kekal.[5]
Tradisi perjanjian ini akan menjadi dasar bagi bangsa Israel. Kisah yang
mengikuti, Kel 25-31, relatif berisi kumpulan terakhir hukum dan aturan-aturan
ibadat.[6]
Kesejajarannya dengan bentuk-bentuk perjanjian internasional sekarang demikian
mencolok sehingga nyatalah bahwa Israel memandang perjanjian itu sebagai dasar
kehidupan beragama dan sosialnya.[7]
Di Sinai Tuhan mengukuhkan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel. Ia
memberikan kepada mereka undang-undang yang menjadi pedoman hidupnya: Theokrasi.[8] Allah
berdiri di tempat raja sebagai pemerintah mereka. Perjanjian yang diadakan
Allah di situ dengan umat-Nya sangat penting dalam mengikat suku-suku itu
menjadi satu, dan menempa mereka menjadi satu umat yang mengabdi kepada satu
Allah. Meskipun janji yang jelas terlihat dalam perjanjian jaman Abraham tidak
hilang, penekanan pada perjanjian Sinai ini adalah pada ketentuan-ketentuan
yang dikenakan Allah pada umat-Nya. Artinya, perjanjian diadakan dan
diberlakukan atas dasar ketetapan Allah. Tradisi tentang Sinai termasuk bagian
yang tua dari kepercayaan orang Israel. Dalam perjanjian ini hadir
ketentuan-ketentuan yang pasti. Hal berpegang pada perjanjian itu diperluas
artinya menjadi tanggapan ketaatan Israel pada inisiatif Allah (Kel 19:24; Ul
26:16-19). Peranan Gunung Sinai yang menonjol dalam Perjanjian Lama dan tradisi
yang kuat yang dihubungkan dengan gunung itu, memberikan banyak bukti dalam
menopang kebenaran sejarah. Kenyataan bahwa Allah memilih mereka sudah tetap.
Mereka adalah umat Allah, milik pribadi Allah, maka mereka didorong untuk
mencerminkan dengan ketaatan mereka.
B. Pengaruh
Perjanjian Sinai terhadap perkembangan keagamaan bangsa Israel.
Pada
zaman para Patriakh, agama orang-orang Ibrani sudah bercorak monolatri.[9]
Kemudian peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Musa merupakan asal-usul monotheisme yang sejati.[10]
Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel yang masih baru itu sebagai
Allah yang hidup yang mempunyai hubugan moral dan rohaniah yang intim dengan
mereka yang mentaati perintah-perintah-Nya.[11]
Israel sendiri sebenarnya mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara
sejak masa Adam dan Hawa; juga Kain dan Habel. Dari contoh-contoh itu jelas
bahwa Allah menerima penyembahan manusia (Kej. 4:6).
Tidak
dikatakan dengan jelas oleh Alkitab mengapa mereka harus memberikan korban
persembahan, tapi dari konteks Kejadian 4, terlihat bahwa persembahan itu
diberikan sebagai ucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan yang disertai dengan
harapan bahwa Allah akan senantiasa memelihara mereka di hari-hari kemudian.
Tetapi Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan Habel
tetapi Kain tidak. Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban
persembahan memakai binatang. Dan sejak itu persembahan binatang dipakai
sebagai korban bakaran untuk menjadi salah satu tata upacara yang dilakukan
dalam ibadah.
Pengalaman
Sinai akan mengukir kehidupan rohani Israel sampai pada dasar paling dalam:
mereka itu mempunyai pengalaman akan Allah yang kemudian menata hidup mereka,
sehingga mereka tidak bisa lain kecuali mengikat janji setia kepada Allah
Yahwe.[12]
Kemudian masuknya suku-suku Israel di negeri Kanaan mengubah seluruh tatanan
masyarakatnya. Dari suku-suku setengah badui, mereka mulai menetap dan bertani.
Kebudayaan penduduk asli itu jauh lebih maju daripada kebudayaan sederhana
suku-suku Israel. Agama Israel juga terancam. Suku-suku Israel secara terserak
menetap di negeri Kanaan, kerap kali berdampingan dengan penduduk asli. Mereka
sebenarnya hanya bersatu dalam agamanya seperti yang diterima Musa.[13]
Mereka semua memuja Allah nenek moyang yang satu. Kadang-kadang suku-suku ini
berziarah ke sebuah tempat kudus bersama untuk merayakan pesta keagamaannya.
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat tergoda oleh agama penduduk
asli setempat. Godaan dari pihak agama asli Kanaan sepanjang sejarah selalu
sangat menarik bagi Israel. Hanya kenangan akan keluaran dari negeri Mesir dan
perjanjian yang diadakan Tuhan dengan mereka mencegah orang Israel dari kemurtadan,
meskipun tidak jarang mereka mneyleweng.
Pada
masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah terbuka, tapi
di kemah pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan
dalam Kel. 27:1-3, sesuai perintah yang diterima Musa dari Allah, dan Musa
sendiri bertindak sebagai imam, menjadi perantara antara Allah dan umat Israel.
Pada masa iman-iman, bangsa Israel telah memiliki kelompok imam yang dipilih
dari keturunan keluarga Harun, suku Lewi, yang bertugas untuk mengatur tata
ibadah kepada Allah. Kitab Imamat mencatat berbagai macam peraturan tata ibadah
bagi bangsa Israel. Tidak selalu bangsa Israel melakukan ibadah yang benar,
karena ibadah yang sejati bukanlah tergantung dari tempat dan tata caranya
tetapi dari sikap hati yang benar. Tapi sering kali bangsa Israel tidak
memiliki hati yang tertuju kepada Tuhan, sehingga tata ibadahpun tidak ada
gunanya.
Ketika akhirnya bangsa Israel dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada bangsa-bangsa lain barulah bangsa Israel menyadari betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan dan memelihara Taurat-Nya.
Ketika akhirnya bangsa Israel dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada bangsa-bangsa lain barulah bangsa Israel menyadari betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan dan memelihara Taurat-Nya.
C. Pengaruh
Perjanjian Sinai terhadap Perkembangan Sosial-Politik bangsa Israel.
Keluhan bangsa Israel dalam
perbudakan di Mesir didengar Allah dan Ia mengingat akan perjanjian-Nya dengan
Abraham, Ishak dan Israel. Allah lalu mengutus Musa menghadapi Firaun dan
memimpin bangsa Israel keluar dari tanah mesir menuju ke tanah kanaan tanah
yang di janjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka (Keluaran 2:24; Keluaran 3:10). Maksud Allah
membawa pergi bangsa Israel dari Mesir adalah penebusan, melepaskan umat itu
dari perbudakan dan memungkinkan mereka beribadah kepada Allah dalam kesucian
dan kebenaran. Setelah keluar dari Mesir,
orang-orang Israel sudah merdeka tetapi belum dapat disebut sebagai bangsa.
Belum ada undang-undang dasar mereka.[14]
Dalam perjalanan menuju ke tanah Kanaan tepatnya di kaki gunung Sinai Tuhan
Allah kembali membuat perjanjian yang kali ini berlaku antara Tuhan Allah dan
seluruh bangsa Israel bangsa keturunan Abraham. (Kel 19:2). Di sana, bangsa
Israel mengakui dan menegaskan: Yahwe menjadi Allah mereka, mereka menjadi umat
Yahwe (Kel 19-24).[15]
Relasi seperti ini digambarkan dengan menggunakan analogi sosial-politik
perjanjian.[16]
Organisasi sosial kuno sebagian
besar terdiri dari kumpulan klan dan suku yang tinggal di beberapa daerah
negara-kota yang kecil. Dari waktu ke waktu, suatu negara-kota (misal, Asyur,
Babylon) memperluas kekuasaannya dan menjadi sebuah kekaisaran. Hubungan antara
berbagai kelompok yang berbeda ini harus diatur demi stabilitas kehidupan
sosial dan politik.[17]
Untuk menjamin hal itu, diadakanlah perjanjian. Perjanjian adalah persetujuan
atau janji antara dua pihak yang dengan sungguh-sungguh menyatakan di hadapan
para saksi (biasanya dewa-dewi yang dianut) dan mengikatnya dengan sumpah yang
dinyatakan secara lisan maupun melalui tindakan simbolis. Sebagai hasil dari
perjanjian, ditegakkanlah sebuah relasi baru yang selalu diungkapkan dalam
terminologi kekeluargaan. Tujuan perjanjian adalah syalom, damai, relasi
yang utuh. Karena mengambil tempat di Sinai di bawah kepemimpinan dan
perantaraan Musa, perjanjian Israel–Yahwe[18]
yang dianalogikan macam itu disebut sebagai perjanjian
Sinai atau perjanjian Musa.[19]
Perjanjian Tuhan Allah kali ini dilengkapi dengan segala
ketetapan dan peraturan menjalankan kehidupan bangsa Israel yang tertulis yang
disebut hukum Taurat yang disertai dengan berkat dan kutuk bagi bangsa ini.
Apabila mereka mematuhi segala hukum-hukum itu maka besarlah berkat yang akan
diterima mereka, sebaliknya bila mereka melanggar maka hukuman-hukuman akan
menimpa mereka. Bangsa Israel menerima seluruh hukum Taurat sebagai bagian dari
perjanjian mereka dengan Tuhan Allah. Dalam mistik kehidupan Israel ini
adalah pengalaman Sinai; dan pengalaman mistik ini menjadi kekuatan hidup
berbangsa dengan undang-undang dasar mereka yang terukir dalam prasasti perjanjian.[20]
Segala peraturan yang harus ditaati
serta berkat dan hukuman dari perjanjian Tuhan Allah dengan bangsa Israel ini
dapat dibaca secara lengkap dalam kitab keluaran pasal 20-31, kitab Imamat dan
kitab Ulangan. Tanda meterai dari perjanjian Allah kali ini adalah darah lembu
jantan sebagai korban keselamatan yang diambil Musa lalu disiramkanya ke atas
bangsa itu (Kel 24:8). Seperti
yang telah diuraikan diatas bahwa berkat dan kutuk menyertai perjanjian Tuhan
Allah kali ini. Apabila bangsa Israel menuruti segala hukum-hukum Allah maka
berkat melimpah akan menyertai bangsa ini, namun sebaliknya bila mereka ingkar
maka hukuman akan menyertai mereka. Demikianlah yang segera terjadi bahwa hanya
beberapa waktu berselang setelah mereka menerima hukum taurat dari Musa, mereka
telah mengingkarinya dengan melanggar larangan Allah untuk menyembah allah lain
dan membuat patung yang menyerupai apapun lalu sujud menyembahnya. Ketika Musa
terlalu lama berada di atas gunung Sinai untuk menerima dua loh batu yang berisi
tulisan jari Allah mengenai hukum taurat, bangsa Israel segera ingkar dengan
membuat patung lembu tuangan sebagai allah mereka (Keluaran 32:1; Keluaran
32:4)
Murka Tuhan Allah bangkit dan Dia
ingin segera menghukum mereka dengan memusnahkan mereka namun tetap memelihara
Musa, namun Musa mengingatkan Tuhan Allah akan perjanjian-Nya dengan Abraham,
Ishak dan Israel untuk membawa bangsa itu ke tanah yang sudah dijanjikan-Nya (Keluaran 32:13). Tuhan Allah
terikat dengan perjanjian-Nya bahwa hukuman-hukuman akan menyertai mereka bila
mereka ingkar maka hukuman tetap dijalankankan bagi siapa yang tidak memihak kepada
Musa.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Inti
perjanjian Sinai adalah dua loh batu yang berisi Sepuluh Hukum.[21] Perjanjian
Sinai merupakan perjanjian yang sangat mendasar bagi umat Israel. Perjanjian
yang membawa perubahahan dan perbedaan antara bangsa Israel dengan
bangsa-bangsa lain dalam hal social, politik bahkan keagamaan. Perjanjian ini
memiliki tujuan untuk menciptakan hubungan-hubungan yang baru, sedangkan tujuan
hukum adalah mengatur hubungan-hubungan yang sudah ada melalui sarana perintah.
Melalui persetujuan perjanjian antara Allah dengan umat Israel membuktikan
bahwa Israel memiliki Allah yang hidup yang senantiasa menyertai umat-Nya dalam
segala aspek kehidupan dan mempengaruhi semua system yang ada dalam kedaulatan
Israel sebagai bangsa pilihan Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
_________, Alkitab.
Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.
_________,
Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011.
Baker,
David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama. Jakarta:
Balai Penabur Kristen
Gunung Mulia, 1993.
Bergant, Diane dan Karris, Robert J., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius,
2002.
Childs,
B.S., Exodus. A Commentary Old
Testament Library.
London: SCM Press Ltd 1974.
Coats, G.W.,
Moses: Heroic Man, Man of God.
Darmawijaya, Pentateukh
atau Taurat Musa. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Dyrness, William, Tema-tema
dalam Teologi Perjanjian Lama.
Malang: Gandum
Mas, 1992.
Green,
Denis, Pengenalan Perjanjian Lama.
Malang: Gandum Mas,1984.
Groenen, C. OFM, Pengantar
Ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Hill, Andrew E. dan Walton, John H., Survei Perjanjian Lama.
Malang: Gandum
Mas,1996.
Ethics.
VIII: Retrieved
Jan 21, 2016
Utah: Bookcraft, p. 351)
Mendenhall, George E. and Herion, Gary A., “Covenant”, dalam D.N. Freedman,
The
Anchor Bible Dictionary, Volume I.
Doubleday: New York 1992.
Nelson's
Illustrated Bible Dictionary, Copyright © 1986, Thomas Nelson
Publishers
Wolf, Herbert, An
Introduktion to Thre Old Testatement Pentateuch. Chicago:
Moody Press, 1991.
Snoek,
I., Sejarah Suci. Jakarta: Balai
Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1985.
[1] Perjanjian adalah
hubungan di mana ikatan moral antara dua pihak yang terlibat dijelaskan dan
diterima (Diane Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2002) 101)
[2] Gunung ini berperan
penting dalam cerita tentang Musa dan umat Israel sebagaimana dicatat dalam
empat kitab Pentateukh yang terakhir. Gunung ini terletak di Semenanjung Sinai
yang luas. Namun, para arkeolog dan sarjana Alkitab tidak dapat memastikan di mana
sebetulnya lokasi gunung ini. Ada sekitar dua puluh gunung yang selama ini
diusulkan sebagai Gunung Sinai. (Alkitab
Edisi Studi (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011) 107)
[3] Kesepuluh hukum ini
yang juga dikenal sebagai Dekalog atau “Sepuluh Firman”, tertulis dalam
keluaran 20:1-17 dan diulangi lagi dalam Ulangan 5:6-21. Allah sendiri yang
menulis hukum-hukum ini pada dua loh batu dan berbicara secara langsung kepada
seluruh umat Israel (20:1; 32:16). (Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama (Malang: Gandum
Mas,1996) 183)
[4] Orang Israel meminta
supaya Musa sajalah yang berbicara kepada mereka, Musa mendekati embun yang
kelam di mana Allah ada dan di sana Musa menerima pelbagai undang-undang (Kel
21:22-23). Musa kembali kepada bangsa Israel kemudian mereka berjanji: “Segala
yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel 24:1-8). B.S. Child menggambarkan beberapa permasalahan yang ada
dalam narasi perjanjian Sinai, antara lain terkait dengan Musa yang
berulang kali digambarkan naik dan turun gunung Sinai tanpa tujuan yang jelas;
deskripsi tentang Allah yang berubah-ubah antara menetap di gunung itu dan
hanya turun pada saat-saat tertentu saja; theophani juga digambarkan baik
dengan gambaran asap gunung berapi dan api maupun dengan awan dan guntur pada
waktu hujan badai (B.S. Childs, Exodus. A Commentary, Old Testament Library, London, SCM Press
Ltd 1974, 349-350.)
[5] Tetapi ada aspek
tertentu dari Perjanjian Sinai yang dirujuk “kekal” atau “permanen”, misalnya,
orang Israel harus menghormati hari Sabat “sebagai suatu perjanjian kekal”.
(Herbert Wolf, An Introduktion to The Old
Testatement Pentateuch (Chicago: Moody Press, 1991) 39).
[7] William Dyrness, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama
(Malang: Gandum Mas, 1992) 100.
[8]
I. Snoek, Sejarah Suci (Jakarta:
Balai Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1985) 70. Istilah teokrasi (theocracy)
berasal dari dua kata bahasa Yunani, theos, Allah, dan kratos, pemerintahan,
jadi pemerintahan oleh Allah. Sejak itu, Israel akan selalu menganggap dirinya
sebagai kerajaan Allah dan Allah adalah rajanya yang utama.
[9] Monolatrism
atau Monolatry (Yunani: μόνος (monos) = tunggal, dan λατρεία (latreia) =
ibadah) adalah keyakinan akan adanya banyak dewa, tetapi dengan ibadah yang
konsisten dari satu dewa (Frank E. Eakin, Jr. The Religion
and Culture of Israel (Boston: Allyn and Bacon, 1971) 70). Istilah ini
mungkin pertama kali digunakan oleh Julius Wellhausen. (Mackintosh, Robert (1916). "Monolatry and
Henotheism". Encyclopedia of
Religion and Ethics. VIII: 810.
Retrieved Jan 21,
2016.)
Monolatry dibedakan dari tauhid,
yang menegaskan keberadaan hanya satu tuhan, dan henoteisme, sistem agama yang
percaya memuja satu Tuhan tanpa menyangkal bahwa orang lain mungkin menyembah
dewa yang berbeda dengan validitas yang sama. (McConkie, Bruce R. (1979), Mormon Doctrine (2nd ed.), Salt Lake City, Utah: Bookcraft, p. 351)
[10] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang:
Gandum Mas,1984) 29. Peristiwa penting yang pertama adalah penyataan nama Tuhan
“YHWH” kepada Musa (Kel. 3:14; 6:2-3)
[11] Ibid.
[12] St. Darmawijaya, Pentateukh atau Taurat Musa (Yogyakarta:
Kanisius, 1991) 85.
[13] C. Groenen OFM, Pengantar Ke dalam Perjanjian Lama
(Yogyakarta: Kanisius, 1991) 46-47.
[14] Orang Israel harus
menjadi bangsa dengan identitas tersendiri, yang berdikari dan yang diakui oleh
bangsa-bangsa lain sebagai suatu bangsa. Mereka membutuhkan asas kenegaraan
serta undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Allah. (David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama (Jakarta:
Balai Penabur Kristen Gunung Mulia, 1993) 34-35).
[15] Pengertian Perjanjian
dengan Allah yang ditampilkan dalam kisah itu merupakan salah satu pokok
pikiran penting dalam Perjanjian Lama. Pengertian itu kemudian berkembang dalam
tradisi sebagaimana tercermin dalam Kejadian 15; 26; 28 dan memuncak dalam
rumusan perjanjian Sinai sebagai perjanjian Yahwe dengan seluruh bangsa.
[16] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, dalam D.N. Freedman, The Anchor Bible Dictionary,
Volume I, Doubleday, New York 1992, 1183 – 1187
[17] Peraturan yang terdapat
dalam Kel 22:17-23:19 pada umumnya bersifat apodiktik dari Hukum Perjanjian.
Yang sangat mencolok dari peraturan yang ada di sini adalah kepekaan etis
terhadap tuntutan untuk memperhatikan sesame orang Israel. Dengan sering
menekankan kewajiban cinta, peraturan yang ada di sini sebetulnya melebihi
Sepuluh Perintah Allah, yang hanya memperhatikan keadilan.
[18] Konsep
perjanjian antara Allah dan umat-Nya adalah salah satu kebenaran teologis yang
paling penting dari Alkitab.
(Nelson's Illustrated Bible Dictionary,
Copyright © 1986, Thomas Nelson Publishers)
[19] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, 1183 –
1187. Perjanjian ini diadakan dengan Israel sebagai umat yang telah dipilih
dalam kasih berdasarkan kedaulatan Allah, untuk menerima keselamatan dan
pengangkatan (adopsi)
[20] Ibid.
[21] An Introduktion to The
Old Testatement Pentateuch, op. cit.
39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar