Selasa, 19 September 2017

PENGARUH PERJANJIAN SINAI


BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Perjanjian merupakan salah satu bagian dalam bidang kehidupan social manusia. Karena senantiasa berhubungan dengan sesamanya, maka hubungan itu perlu dipahami baik-baik.[1] Jika melihat dalam Kekristenan bahwa inti dari Alkitab adalah penyelamatan umat manusia melalui penyaluran kasih karunia Allah lewat perjanjian-perjanjian yang dibuat-Nya dengan manusia yang berawal dari Perjanjian Lama dan digenapi dengan Perjanjian Baru. Alkitab berisi tentang perjanjian. Secara umum manusia memahami kata perjanjian sebagai keterlibatan antara dua pihak yang mengadakan ikatan atau kontrak kerjasama yang disertai dengan syarat-syarat atau sangsi yang harus dipenuhi oleh pihak- pihak yang membuat perjanjian itu. Pada intinya perjanjian yang dibuat adalah untuk kepentingan bersama dan menghasilkan keuntungan untuk kedua belah pihak. Jika salah satu pihak merasa tidak puas atau melanggar syarat dalam kesepakatan itu maka sangsi diberlakukan atau perjanjian dibatalkan. Tidaklah demikian dengan perjanjian Allah.

Dalam perjanjian antara Allah dengan manusia, Allah-lah yang memanggil untuk mengadakan perjanjian dan inti dari perjanjian itu adalah penyaluran kasih karunia dan keselamatan yang akan diberikan Allah berdasarkan kedaulatan-Nya. Berbeda dengan perjanjian yang dibuat oleh manusia yang berdasarkan kesepakatan bersama, perjanjian Allah disusun dan ditetapkan oleh Allah sendiri, bersifat umum dan juga khusus. Seperti contoh perjanjian pelangi antara Allah dengan Nuh maupun perjanjian antara Allah dengan Abraham yang bersifat umum dan berlaku kekal selamanya. Adapun perjanjian Sinai antara Tuhan Allah dengan bangsa Israel bersifat khusus dan berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Ikatan perjanjian ini merupakan peristiwa sentral dalam kehidupan Israel sebagai bangsa. Dari perjanjian Sinai ini akan ditinjau bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan bangsa Israel.


B.     Rumusan Masalah

Oleh sebab itu untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas oleh makalah ini dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1.      Apa yang menjadi dasar adanya perjanjian Sinai?

2.      Apa pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Sosial – Politik bangsa Israel?

3.      Apa pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Keagamaan bangsa Israel?



C.    Tujuan Penulisan

1.      Menjelaskan dasar adanya Perjanjian Sinai.

2.      Menjelaskan pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Sosial-Politik bangsa Israel.

3.      Menjelaskan pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan Keagamaan bangsa Israel.

BAB II

PEMBAHASAN



A.    Dasar adanya Perjanjian Sinai

Dalam Perjanjian Lama Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb.[2] Ditempat ini Allah mengadakan perjanjiannya dengan umat Israel melalui Musa. Sesudah melewati Mara dan Elim orang Israel sampai di Sinai pada bulan ke-3 sesudah berangkat dari Mesir (Keluaran 19:1), dan berkemah di dataran kaki gunung itu, dan dari situ puncak gunung dapat dilihat (Keluaran 19:16, 18, 20). Yahwe menampakkan diriNya kepada Musa di puncak gunung ini dan memberikan Kesepuluh Firman[3] dan hukum-hukum lainnya.[4] 

Deskripsi perjanjian Sinai dalam kitab Keluaran ditemukan dalam Kel 19-24. Allah tidak hanya mengingat janji-janji-Nya kepada bapa leluhur Ibrani, tetapi sekarang sudah menyatakan diri-Nya juga kepada Israel sebagai Yahweh. Perjanjian Sinai berbeda dengan Perjanjian Abraham, sebab Perjanjian Sinai tidak disebut perjanjian kekal.[5] Tradisi perjanjian ini akan menjadi dasar bagi bangsa Israel. Kisah yang mengikuti, Kel 25-31, relatif berisi kumpulan terakhir hukum dan aturan-aturan ibadat.[6] Kesejajarannya dengan bentuk-bentuk perjanjian internasional sekarang demikian mencolok sehingga nyatalah bahwa Israel memandang perjanjian itu sebagai dasar kehidupan beragama dan sosialnya.[7]

Di Sinai Tuhan mengukuhkan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel. Ia memberikan kepada mereka undang-undang yang menjadi pedoman hidupnya: Theokrasi.[8] Allah berdiri di tempat raja sebagai pemerintah mereka. Perjanjian yang diadakan Allah di situ dengan umat-Nya sangat penting dalam mengikat suku-suku itu menjadi satu, dan menempa mereka menjadi satu umat yang mengabdi kepada satu Allah. Meskipun janji yang jelas terlihat dalam perjanjian jaman Abraham tidak hilang, penekanan pada perjanjian Sinai ini adalah pada ketentuan-ketentuan yang dikenakan Allah pada umat-Nya. Artinya, perjanjian diadakan dan diberlakukan atas dasar ketetapan Allah. Tradisi tentang Sinai termasuk bagian yang tua dari kepercayaan orang Israel. Dalam perjanjian ini hadir ketentuan-ketentuan yang pasti. Hal berpegang pada perjanjian itu diperluas artinya menjadi tanggapan ketaatan Israel pada inisiatif Allah (Kel 19:24; Ul 26:16-19). Peranan Gunung Sinai yang menonjol dalam Perjanjian Lama dan tradisi yang kuat yang dihubungkan dengan gunung itu, memberikan banyak bukti dalam menopang kebenaran sejarah. Kenyataan bahwa Allah memilih mereka sudah tetap. Mereka adalah umat Allah, milik pribadi Allah, maka mereka didorong untuk mencerminkan dengan ketaatan mereka.

B.     Pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan keagamaan bangsa Israel.

Pada zaman para Patriakh, agama orang-orang Ibrani sudah bercorak monolatri.[9] Kemudian peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Musa merupakan asal-usul monotheisme yang sejati.[10] Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel yang masih baru itu sebagai Allah yang hidup yang mempunyai hubugan moral dan rohaniah yang intim dengan mereka yang mentaati perintah-perintah-Nya.[11] Israel sendiri sebenarnya mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara sejak masa Adam dan Hawa; juga Kain dan Habel. Dari contoh-contoh itu jelas bahwa Allah menerima penyembahan manusia (Kej. 4:6).

Tidak dikatakan dengan jelas oleh Alkitab mengapa mereka harus memberikan korban persembahan, tapi dari konteks Kejadian 4, terlihat bahwa persembahan itu diberikan sebagai ucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan yang disertai dengan harapan bahwa Allah akan senantiasa memelihara mereka di hari-hari kemudian. Tetapi Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan Habel tetapi Kain tidak. Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban persembahan memakai binatang. Dan sejak itu persembahan binatang dipakai sebagai korban bakaran untuk menjadi salah satu tata upacara yang dilakukan dalam ibadah.

Pengalaman Sinai akan mengukir kehidupan rohani Israel sampai pada dasar paling dalam: mereka itu mempunyai pengalaman akan Allah yang kemudian menata hidup mereka, sehingga mereka tidak bisa lain kecuali mengikat janji setia kepada Allah Yahwe.[12] Kemudian masuknya suku-suku Israel di negeri Kanaan mengubah seluruh tatanan masyarakatnya. Dari suku-suku setengah badui, mereka mulai menetap dan bertani. Kebudayaan penduduk asli itu jauh lebih maju daripada kebudayaan sederhana suku-suku Israel. Agama Israel juga terancam. Suku-suku Israel secara terserak menetap di negeri Kanaan, kerap kali berdampingan dengan penduduk asli. Mereka sebenarnya hanya bersatu dalam agamanya seperti yang diterima Musa.[13] Mereka semua memuja Allah nenek moyang yang satu. Kadang-kadang suku-suku ini berziarah ke sebuah tempat kudus bersama untuk merayakan pesta keagamaannya. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat tergoda oleh agama penduduk asli setempat. Godaan dari pihak agama asli Kanaan sepanjang sejarah selalu sangat menarik bagi Israel. Hanya kenangan akan keluaran dari negeri Mesir dan perjanjian yang diadakan Tuhan dengan mereka mencegah orang Israel dari kemurtadan, meskipun tidak jarang mereka mneyleweng.

Pada masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah terbuka, tapi di kemah pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan dalam Kel. 27:1-3, sesuai perintah yang diterima Musa dari Allah, dan Musa sendiri bertindak sebagai imam, menjadi perantara antara Allah dan umat Israel. Pada masa iman-iman, bangsa Israel telah memiliki kelompok imam yang dipilih dari keturunan keluarga Harun, suku Lewi, yang bertugas untuk mengatur tata ibadah kepada Allah. Kitab Imamat mencatat berbagai macam peraturan tata ibadah bagi bangsa Israel. Tidak selalu bangsa Israel melakukan ibadah yang benar, karena ibadah yang sejati bukanlah tergantung dari tempat dan tata caranya tetapi dari sikap hati yang benar. Tapi sering kali bangsa Israel tidak memiliki hati yang tertuju kepada Tuhan, sehingga tata ibadahpun tidak ada gunanya.
           Ketika akhirnya bangsa Israel dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada bangsa-bangsa lain barulah bangsa Israel menyadari betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan dan memelihara Taurat-Nya.

C.    Pengaruh Perjanjian Sinai terhadap Perkembangan Sosial-Politik bangsa Israel.

Keluhan bangsa Israel dalam perbudakan di Mesir didengar Allah dan Ia mengingat akan perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Israel. Allah lalu mengutus Musa menghadapi Firaun dan memimpin bangsa Israel keluar dari tanah mesir menuju ke tanah kanaan tanah yang di janjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka (Keluaran 2:24; Keluaran 3:10). Maksud Allah membawa pergi bangsa Israel dari Mesir adalah penebusan, melepaskan umat itu dari perbudakan dan memungkinkan mereka beribadah kepada Allah dalam kesucian dan kebenaran. Setelah keluar dari Mesir, orang-orang Israel sudah merdeka tetapi belum dapat disebut sebagai bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka.[14] Dalam perjalanan menuju ke tanah Kanaan tepatnya di kaki gunung Sinai Tuhan Allah kembali membuat perjanjian yang kali ini berlaku antara Tuhan Allah dan seluruh bangsa Israel bangsa keturunan Abraham. (Kel 19:2). Di sana, bangsa Israel mengakui dan menegaskan: Yahwe menjadi Allah mereka, mereka menjadi umat Yahwe (Kel 19-24).[15] Relasi seperti ini digambarkan dengan menggunakan analogi sosial-politik perjanjian.[16]

Organisasi sosial kuno sebagian besar terdiri dari kumpulan klan dan suku yang tinggal di beberapa daerah negara-kota yang kecil. Dari waktu ke waktu, suatu negara-kota (misal, Asyur, Babylon) memperluas kekuasaannya dan menjadi sebuah kekaisaran. Hubungan antara berbagai kelompok yang berbeda ini harus diatur demi stabilitas kehidupan sosial dan politik.[17] Untuk menjamin hal itu, diadakanlah perjanjian. Perjanjian adalah persetujuan atau janji antara dua pihak yang dengan sungguh-sungguh menyatakan di hadapan para saksi (biasanya dewa-dewi yang dianut) dan mengikatnya dengan sumpah yang dinyatakan secara lisan maupun melalui tindakan simbolis. Sebagai hasil dari perjanjian, ditegakkanlah sebuah relasi baru yang selalu diungkapkan dalam terminologi kekeluargaan. Tujuan perjanjian adalah syalom, damai, relasi yang utuh. Karena mengambil tempat di Sinai di bawah kepemimpinan dan perantaraan Musa, perjanjian Israel–Yahwe[18] yang dianalogikan macam itu disebut sebagai perjanjian Sinai atau perjanjian Musa.[19]

 Perjanjian Tuhan Allah kali ini dilengkapi dengan segala ketetapan dan peraturan menjalankan kehidupan bangsa Israel yang tertulis yang disebut hukum Taurat yang disertai dengan berkat dan kutuk bagi bangsa ini. Apabila mereka mematuhi segala hukum-hukum itu maka besarlah berkat yang akan diterima mereka, sebaliknya bila mereka melanggar maka hukuman-hukuman akan menimpa mereka. Bangsa Israel menerima seluruh hukum Taurat sebagai bagian dari perjanjian mereka dengan Tuhan Allah. Dalam mistik kehidupan Israel ini adalah pengalaman Sinai; dan pengalaman mistik ini menjadi kekuatan hidup berbangsa dengan undang-undang dasar mereka yang terukir dalam prasasti perjanjian.[20]

Segala peraturan yang harus ditaati serta berkat dan hukuman dari perjanjian Tuhan Allah dengan bangsa Israel ini dapat dibaca secara lengkap dalam kitab keluaran pasal 20-31, kitab Imamat dan kitab Ulangan. Tanda meterai dari perjanjian Allah kali ini adalah darah lembu jantan sebagai korban keselamatan yang diambil Musa lalu disiramkanya ke atas bangsa itu (Kel 24:8). Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa berkat dan kutuk menyertai perjanjian Tuhan Allah kali ini. Apabila bangsa Israel menuruti segala hukum-hukum Allah maka berkat melimpah akan menyertai bangsa ini, namun sebaliknya bila mereka ingkar maka hukuman akan menyertai mereka. Demikianlah yang segera terjadi bahwa hanya beberapa waktu berselang setelah mereka menerima hukum taurat dari Musa, mereka telah mengingkarinya dengan melanggar larangan Allah untuk menyembah allah lain dan membuat patung yang menyerupai apapun lalu sujud menyembahnya. Ketika Musa terlalu lama berada di atas gunung Sinai untuk menerima dua loh batu yang berisi tulisan jari Allah mengenai hukum taurat, bangsa Israel segera ingkar dengan membuat patung lembu tuangan sebagai allah mereka (Keluaran 32:1; Keluaran 32:4)

Murka Tuhan Allah bangkit dan Dia ingin segera menghukum mereka dengan memusnahkan mereka namun tetap memelihara Musa, namun Musa mengingatkan Tuhan Allah akan perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Israel untuk membawa bangsa itu ke tanah yang sudah dijanjikan-Nya (Keluaran 32:13). Tuhan Allah terikat dengan perjanjian-Nya bahwa hukuman-hukuman akan menyertai mereka bila mereka ingkar maka hukuman tetap dijalankankan bagi siapa yang tidak memihak kepada Musa.



 BAB III

PENUTUP



Kesimpulan

Inti perjanjian Sinai adalah dua loh batu yang berisi Sepuluh Hukum.[21] Perjanjian Sinai merupakan perjanjian yang sangat mendasar bagi umat Israel. Perjanjian yang membawa perubahahan dan perbedaan antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain dalam hal social, politik bahkan keagamaan. Perjanjian ini memiliki tujuan untuk menciptakan hubungan-hubungan yang baru, sedangkan tujuan hukum adalah mengatur hubungan-hubungan yang sudah ada melalui sarana perintah. Melalui persetujuan perjanjian antara Allah dengan umat Israel membuktikan bahwa Israel memiliki Allah yang hidup yang senantiasa menyertai umat-Nya dalam segala aspek kehidupan dan mempengaruhi semua system yang ada dalam kedaulatan Israel sebagai bangsa pilihan Allah.




DAFTAR PUSTAKA





_________, Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.



_________, Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011.



Baker, David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama. Jakarta: Balai Penabur Kristen

Gunung Mulia, 1993.



Bergant, Diane dan Karris, Robert J., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama.

Yogyakarta: Kanisius, 2002.



Childs, B.S., Exodus. A Commentary Old Testament Library.

London: SCM Press Ltd 1974.



Coats, G.W., Moses: Heroic Man, Man of God.



Darmawijaya, Pentateukh atau Taurat Musa. Yogyakarta: Kanisius, 1991.



Dyrness, William, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama.

Malang: Gandum Mas, 1992.



Green, Denis, Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,1984.



Groenen, C. OFM, Pengantar Ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1991.



Hill, Andrew E. dan Walton, John H., Survei Perjanjian Lama.

Malang: Gandum Mas,1996.



Mackintosh, Robert (1916). "Monolatry and Henotheism". Encyclopedia of Religion and

Ethics. VIII: Retrieved Jan 21, 2016



McConkie, Bruce R. (1979), Mormon Doctrine (2nd ed.), Salt Lake City,

Utah: Bookcraft, p. 351)



Mendenhall, George E.  and Herion, Gary A., “Covenant”, dalam D.N. Freedman,

The Anchor Bible Dictionary, Volume I. Doubleday: New York 1992.



Nelson's Illustrated Bible Dictionary, Copyright © 1986, Thomas Nelson Publishers

Wolf, Herbert, An Introduktion to Thre Old Testatement Pentateuch. Chicago:

Moody Press, 1991.



Snoek, I., Sejarah Suci. Jakarta: Balai Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1985.







[1] Perjanjian adalah hubungan di mana ikatan moral antara dua pihak yang terlibat dijelaskan dan diterima (Diane Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2002) 101)
[2] Gunung ini berperan penting dalam cerita tentang Musa dan umat Israel sebagaimana dicatat dalam empat kitab Pentateukh yang terakhir. Gunung ini terletak di Semenanjung Sinai yang luas. Namun, para arkeolog dan sarjana Alkitab tidak dapat memastikan di mana sebetulnya lokasi gunung ini. Ada sekitar dua puluh gunung yang selama ini diusulkan sebagai Gunung Sinai. (Alkitab Edisi Studi (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011) 107)
[3] Kesepuluh hukum ini yang juga dikenal sebagai Dekalog atau “Sepuluh Firman”, tertulis dalam keluaran 20:1-17 dan diulangi lagi dalam Ulangan 5:6-21. Allah sendiri yang menulis hukum-hukum ini pada dua loh batu dan berbicara secara langsung kepada seluruh umat Israel (20:1; 32:16). (Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas,1996) 183)
[4] Orang Israel meminta supaya Musa sajalah yang berbicara kepada mereka, Musa mendekati embun yang kelam di mana Allah ada dan di sana Musa menerima pelbagai undang-undang (Kel 21:22-23). Musa kembali kepada bangsa Israel kemudian mereka berjanji: “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel 24:1-8). B.S. Child menggambarkan beberapa permasalahan yang ada dalam narasi perjanjian Sinai, antara lain terkait dengan Musa yang berulang kali digambarkan naik dan turun gunung Sinai tanpa tujuan yang jelas; deskripsi tentang Allah yang berubah-ubah antara menetap di gunung itu dan hanya turun pada saat-saat tertentu saja; theophani juga digambarkan baik dengan gambaran asap gunung berapi dan api maupun dengan awan dan guntur pada waktu hujan badai (B.S. Childs, Exodus. A Commentary, Old Testament Library, London, SCM Press Ltd 1974, 349-350.)
[5] Tetapi ada aspek tertentu dari Perjanjian Sinai yang dirujuk “kekal” atau “permanen”, misalnya, orang Israel harus menghormati hari Sabat “sebagai suatu perjanjian kekal”. (Herbert Wolf, An Introduktion to The Old Testatement Pentateuch (Chicago: Moody Press, 1991) 39).
[6] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 130
[7] William Dyrness, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1992) 100.
[8] I. Snoek, Sejarah Suci (Jakarta: Balai Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1985) 70. Istilah teokrasi (theocracy) berasal dari dua kata bahasa Yunani, theos, Allah, dan kratos, pemerintahan, jadi pemerintahan oleh Allah. Sejak itu, Israel akan selalu menganggap dirinya sebagai kerajaan Allah dan Allah adalah rajanya yang utama.
[9] Monolatrism atau Monolatry (Yunani: μόνος (monos) = tunggal, dan λατρεία (latreia) = ibadah) adalah keyakinan akan adanya banyak dewa, tetapi dengan ibadah yang konsisten dari satu dewa (Frank E. Eakin, Jr. The Religion and Culture of Israel (Boston: Allyn and Bacon, 1971) 70). Istilah ini mungkin pertama kali digunakan oleh Julius Wellhausen. (Mackintosh, Robert (1916). "Monolatry and Henotheism". Encyclopedia of Religion and Ethics. VIII: 810. Retrieved Jan 21, 2016.)
Monolatry dibedakan dari tauhid, yang menegaskan keberadaan hanya satu tuhan, dan henoteisme, sistem agama yang percaya memuja satu Tuhan tanpa menyangkal bahwa orang lain mungkin menyembah dewa yang berbeda dengan validitas yang sama. (McConkie, Bruce R. (1979), Mormon Doctrine (2nd ed.), Salt Lake City, Utah: Bookcraft, p. 351)
[10] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas,1984) 29. Peristiwa penting yang pertama adalah penyataan nama Tuhan “YHWH” kepada Musa (Kel. 3:14; 6:2-3)
[11] Ibid.
[12] St. Darmawijaya, Pentateukh atau Taurat Musa (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 85.
[13] C. Groenen OFM, Pengantar Ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 46-47.
[14] Orang Israel harus menjadi bangsa dengan identitas tersendiri, yang berdikari dan yang diakui oleh bangsa-bangsa lain sebagai suatu bangsa. Mereka membutuhkan asas kenegaraan serta undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Allah. (David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama (Jakarta: Balai Penabur Kristen Gunung Mulia, 1993) 34-35).
[15] Pengertian Perjanjian dengan Allah yang ditampilkan dalam kisah itu merupakan salah satu pokok pikiran penting dalam Perjanjian Lama. Pengertian itu kemudian berkembang dalam tradisi sebagaimana tercermin dalam Kejadian 15; 26; 28 dan memuncak dalam rumusan perjanjian Sinai sebagai perjanjian Yahwe dengan seluruh bangsa.
[16] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, dalam D.N. Freedman, The Anchor Bible Dictionary, Volume I, Doubleday, New York 1992, 1183 – 1187
[17] Peraturan yang terdapat dalam Kel 22:17-23:19 pada umumnya bersifat apodiktik dari Hukum Perjanjian. Yang sangat mencolok dari peraturan yang ada di sini adalah kepekaan etis terhadap tuntutan untuk memperhatikan sesame orang Israel. Dengan sering menekankan kewajiban cinta, peraturan yang ada di sini sebetulnya melebihi Sepuluh Perintah Allah, yang hanya memperhatikan keadilan.
[18] Konsep perjanjian antara Allah dan umat-Nya adalah salah satu kebenaran teologis yang paling penting dari Alkitab. (Nelson's Illustrated Bible Dictionary, Copyright © 1986, Thomas Nelson Publishers)
[19] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, 1183 – 1187. Perjanjian ini diadakan dengan Israel sebagai umat yang telah dipilih dalam kasih berdasarkan kedaulatan Allah, untuk menerima keselamatan dan pengangkatan (adopsi)
[20] Ibid.
[21] An Introduktion to The Old Testatement Pentateuch, op. cit. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI KEMANUSIAAN YESUS KRISTUS

BUKTI-BUKTI KEMANUSIAAN YESUS KRISTUS 1. Yesus Lahir Seperti Manusia Lainnya. Yesus lahir dari seorang wanita (Galatia 4:4). Kenyataa...